Kamis, 22 November 2012

Macam-macam Kenakalan Remaja


Kenakalan remaja yang
dimaksud adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar
hukum. Jensen (1985), membagi kenakalan remaja ini dalam 4 jenis yaitu:

1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain;
perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain- lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi; perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban difihak orang lain;
pelacuran, penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Di Indonesia
mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah
dalam jenis ini.
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan membolos, melanggar disiplin sekolah.
Mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau
membantah perintah mereka dan sebagainya. Pada usia mereka,
perilaku-perilaku mereka memang belum melanggar hukum dalam arti
yang sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam
lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang
tidak diatur oleh hukum secara terinci. Akan tetapi kalau kelak remaja
ini dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap
atasannya di kantor atau petugas hukum di masyarakat. Karena itulah
pelanggaran status ini oleh Jensen digolongkan juga sebagai kenakalan
dan bukan sekedar perilaku menyimpang.

Faktor-faktor Kenakalan Remaja



·         Reaksi frustasi diri
·         Gangguan berpikir dan intelegensia pada diri remaja
·         Kurangnya kasih sayang orang tua / keluarga
·         Kurangnya pengawasan dari orang tua
·         Dampak negatif dari perkembangan teknologi modern
·         Dasar-dasar agama yang kurang
·         Tidak adanya media penyalur bakat/hobi
·         Masalah yang dipendam
·         Keluarga broken home
·         Pengaruh kawan sepermainan

Hal-hal yang Mempengaruhi Timbulnya Kenakalan Remaja


Kenakalan remaja dapat ditimbulkan oleh beberapa hal, sebagian di antaranya adalah:
1.        PENGARUH KAWAN SEPERMAINAN
Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya. Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya.Pengaruh kawan ini memang cukup besar. Dalam Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda: “Tak bergaul dengan orang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang bijaksana, itulah Berkah Utama”. Pengaruh kawan sering diumpamakan sebagai segumpal daging busuk apabila dibungkus dengan selembar daun maka daun itupun akan berbau busuk. Sedangkan bila sebatang kayu cendana dibungkus dengan selembar kertas, kertas itu pun akan wangi baunya. Perumpamaan ini menunjukkan sedemikian besarnya pengaruh pergaulan dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang ketika remaja, khususnya. Oleh karena itu, orangtua para remaja hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawan-kawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi orangtuanya.
Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan salah satu tugas orangtua kepada anak seperti yang telah diterangkan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188. Agar anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu. Selain itu, perlu dipikirkan pula latar belakang agama pengelola sekolah. Hal ini penting untuk menjaga agar pendidikan Agama Buddha yang telah diperoleh anak di rumah tidak kacau dengan agama yang diajarkan di sekolah. Berilah pengertian yang benar tentang adanya beberapa agama di dunia. Berilah pengertian yang baik dan bebas dari kebencian tentang alasan orangtua memilih agama Buddha serta alasan seorang anak harus mengikuti agama orangtua, Agama Buddha.Ketika anak telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan akhir masa remaja, anak mulai akan memilih perguruan tinggi. Orangtua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar masa depan si anak berbahagia. Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan bakat anak, bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Masih sering terjadi dalam masyarakat, orangtua yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya memilih profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orangtua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan berakhir dengan kekecewaan. Sebab, meski memang ada sebagian anak yang berhasil mengikuti kehendak orangtuanya tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian menjadi kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin bersekolah sama sekali. Mereka malah pergi bersama dengan kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang.
Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari orangtuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan. Misalnya, ngebut tanpa lampu dimalam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat bius, dan sebagainya.Munculnya kegiatan iseng tersebut selain atas inisiatif si remaja sendiri, sering pula karena dorongan teman sepergaulan yang kurang sesuai. Sebab dalam masyarakat, pada umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota kelompoknya maka ia akan dijauhi oleh lingkungannya. Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si remaja, akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawan-kawannya. Akhirnya ia terjerumus. Tersesat.
Orangtua hendaknya memberikan teladan untuk menanamkan pengertian bahwa uang hanya dapat diperoleh dengan kerja dan keringat. Remaja hendaknya dididik agar dapat menghargai nilai uang. Mereka dilatih agar mempunyai sifat tidak suka memboroskan uang tetapi juga tidak terlalu kikir. Anak diajarkan hidup dengan bijaksana dalam mempergunakan uang dengan selalu menggunakan prinsip hidup ‘Jalan tengah’ seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.Ajarkan pula anak untuk mempunyai kebiasaan menabung sebagian dari uang sakunya. Menabung bukanlah pengembangan watak kikir, melainkan sebagai bentuk menghargai uang yang didapat dengan kerja dan semangat.
Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menguatirkan. Para remaja dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Pengertian pacaran dalam era globalisasi informasi ini sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun yang lalu. Akibatnya, di jaman ini banyak remaja yang putus sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam masa pacaran, anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan kenyataan. Anak hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa kenyataan sering tidak seperti harapan kita, sebaliknya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Demikian pula dengan pacaran. Keindahan dan kehangatan masa pacaran sesungguhnya tidak akan terus berlangsung selamanya.Dalam memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap remaja yang sedang jatuh cinta, orangtua hendaknya bersikap seimbang, seimbang antar pengawasan dengan kebebasan. Semakin muda usia anak, semakin ketat pengawasan yang diberikan tetapi anak harus banyak diberi pengertian agar mereka tidak ketakutan dengan orangtua yang dapat menyebabkan mereka berpacaran dengan sembunyi-sembunyi. Apabila usia makin meningkat, orangtua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan. Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat.

Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘kluyuran’ tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik.
Dalam Digha Nikaya III, 188, Sang Buddha memberikan petunjuk tentang kriteria teman baik yaitu mereka yang memberikan perlindungan apabila kita kurang hati-hati, menjaga barang-barang dan harta kita apabila kita lengah, memberikan perlindungan apabila kita berada dalam bahaya, tidak pergi meninggalkan kita apabila kita sedang dalam bahaya dan kesulitan, dan membantu sanak keluarga kita.
Sebaliknya, dalam Digha Nikaya III, 182 diterangkan pula kriteria teman yang tidak baik. Mereka adalah teman yang akan mendorong seseorang untuk menjadi penjudi, orang yang tidak bermoral, pemabuk, penipu, dan pelanggar hukum.
2.        PENDIDIKAN
Anak pasti juga mempunyai hobi tertentu. Seperti yang telah disinggung di atas, biarkanlah anak memilih jurusan sekolah yang sesuai dengan kesenangan ataupun bakat dan hobi si anak. Tetapi bila anak tersebut tidak ingin bersekolah yang sesuai dengan hobinya, maka berilah pengertian kepadanya bahwa tugas utamanya adalah bersekolah sesuai dengan pilihannya, sedangkan hobi adalah kegiatan sampingan yang boleh dilakukan bila tugas utama telah selesai dikerjakan.
3.        PENGGUNAAN WAKTU LUANG
Oleh karena itu, orangtua hendaknya memberikan pengarahan yang berdasarkan cinta kasih bahwa sikap iseng negatif seperti itu akan merugikan dirinya sendiri, orangtua, maupun lingkungannya. Dalam memberikan pengarahan, orangtua hendaknya hanya membatasi keisengan mereka. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan remaja. Ada kemungkinan, keisengan remaja adalah semacam ‘refreshing’ atas kejenuhannya dengan urusan tugas-tugas sekolah. Dan apabila anak senang berkelahi, orangtua dapat memberikan penyaluran dengan mengikutkannya pada satu kelompok olahraga beladiri.
Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan remaja, ada baiknya pula orangtua ikut memikirkannya pula. Orangtua hendaknya jangan hanya tersita oleh kesibukan sehari-hari. Orangtua hendaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan materi remaja saja. Orangtua hendaknya juga memperhatikan perkembangan batinnya. Remaja, selain membutuhkan materi, sebenarnya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kegiatan keluarga dapat berupa pembacaan Paritta bersama di Cetiya dalam rumah ataupun melakukan berbagai bentuk permainan bersama, misalnya scrabble, monopoli, dan lain sebagainya. Kegiatan keluarga dapat pula berupa tukar pikiran dan berbicara dari hati ke hati. Misalnya, dengan makan malam bersama atau duduk santai di ruang keluarga. Pada hari Minggu seluruh anggota keluarga dapat diajak kebaktian di Vihãra setempat. Mengikuti kebaktian, selain memperbaiki pola pikir agar lebih positif sesuai dengan Buddha Dhamma juga dapat menjadi sarana rekreasi. Hal ini dapat terjadi karena di Vihãra kita dapat berjumpa dengan banyak teman dan juga dapat berdiskusi Dhamma dengan para Bhikkhu maupun pandita yang dijumpai. Selain itu, dihari libur, seluruh anggota keluarga dapat bersama-sama pergi berenang, jalan-jalan ke taman ria atau mal, dan lain sebagainya.
4.        UANG SAKU
Pemberian uang saku kepada remaja memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan. Jangan berlebihan. Uang saku yang diberikan dengan tidak bijaksana akan dapat menimbulkan masalah. Yaitu:
1.        Anak menjadi boros
2.        Anak tidak menghargai uang, dan
3.        Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian pun uang gampang.
5.        PERILAKU SEKSUAL
Penyelesaian masalah dalam pacaran membutuhkan kerja sama orangtua dengan anak. Misalnya, ketika orangtua tidak setuju dengan pacar pilihan si anak. Ketidaksetujuan ini hendaknya diutarakan dengan bijaksana. Jangan hanya dengan kekerasan dan kekuasaan. Berilah pengertian sebaik-baiknya. Bila tidak berhasil, gunakanlah pihak ketiga untuk menengahinya. Hal yang paling penting di sini adalah adanya komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Orangtua hendaknya menjadi sahabat anak. Orangtua hendaknya selalu menjalin dan menjaga komunikasi dua arah dengan sebaik-baiknya sehingga anak tidak merasa takut menyampaikan masalahnya kepada orangtua.
Dalam menghadapi masalah pergaulan bebas antar jenis di masa kini, orangtua hendaknya memberikan bimbingan pendidikan seksual secara terbuka, sabar, dan bijaksana kepada para remaja. Remaja hendaknya diberi pengarahan tentang kematangan seksual serta segala akibat baik dan buruk dari adanya kematangan seksual. Orangtua hendaknya memberikan teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan latihan kemoralan yang sesuai dengan Buddha Dhamma. Sang Buddha telah memberikan pedoman untuk bergaul yang tentunya juga sesuai untuk pegangan hidup para remaja. Mereka hendaknya dididik selalu ingat dan melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan ini adalah latihan untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Dengan memiliki latihan kemoralan yang kuat, remaja akan lebih mudah menentukan sikap dalam bergaul. Mereka akan mempunyai pedoman yang jelas tentang perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dikerjakan. Dengan demikian, mereka akan menghindari perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan melaksanakan perbuatan yang harus dilakukan.

Media,Teknologi dan Pembelajaran


Dalam  sejarah, media dan teknologi memiliki pengaruh terhadap pendidikan. Contohnya, komputer dan internet telah mempengaruhi proses pembelajaran sampai saat ini. Aturan-aturan dari pendidik dan pebelajar telah berubah karena dipengaruhi media dan teknologi yang digunakan di dalam kelas.
Perubahan ini sangat esensial, karena sebagai penuntun dalam proses pembelajaran, pendidik (guru) berhak menguji media dan teknologi dalam konteks belajar dan itu berdampak pada hasil belajar siswa.
LEARNING
Belajar adalah proses pengembangan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, atau pengembangan tingkah laku sebagai interaksi individu, menyangkut fasilitas-fasilitas fisik, psikologis, metode pembelajaran, media, dan teknologi. Belajar adalah proses yang dilakukan sepanjang waktu oleh individu manapun.
Dengan demikian, belajar adalah proses yang melibatkan proses seleksi, pengaturan, dan penyampaian pesan yang pantas kepada lingkungan dan bagaimana cara pebelajar berinteraksi dengan informasi tersebut. Dengan demikian hal ini melihat beberapa pandangan-pandangan psikologis dan pandangan-pandangan filusuf. Pembahasan kali ini juga akan menggambarkan berbagai aturan dari media dalam belajar dan menampilkan metode-metode yang berbeda, seperti presentasi-presentasi, demonstrasi-demonstrasi, dan diskusi-diskusi akan teknologi yang berhubungan dengan belajar.
1. Psychological Perspective on Learning
Bagaimana instruktur menampilkan peran dari media dan teknologi di dalam kelas, ini tergantung akan seberapa jauh mereka memahami akan bagaimana masyarakat telah belajar mengunakannya. Dibawah ini ada beberapa perspektif yang berkaitan dengan psychological perspectives on learning:

  • Behaviorist Perspective
    Pada pertengahan 1950an, fokus belajar berawal dari pembentukan stimulus kepada pebelajar untuk merespons stimulus tersebut. Skinner mendemonstrasikan bahwa behavior dari suatu organisme dapat dibentuk oleh penguatan, atau pemberian hadiah, dan keinginan yang direspons oleh lingkungan. Hasilnya berupa munculnya pembelajaran yang telah diprogramkan, suatu teknik dalam membimbing pebelajar melalui langkah-langkah suatu pembelajaran kepada suatu taraf prestasi yang diinginkan.
  • Cognitivist Perpective
    Pada sisi lain penganut paham kognitif telah membuat suatu kontribusi terhadap teori belajar dan desain pembelajaran dengan menciptakan model-model akan bagaimana pebelajar menerima, berproses, dan memanipulasi informasi. Penganut Kognitivis melihat dengan cara yang berbeda akan pola-pola belajar yang telah terbiasa. Contohnya; menciptakan suatu kemampuan yang di sebut dengan memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Informasi yang baru disimpan oleh memori jangka pendek, dimana informasi itu dilatih sampai dapat dikatakan siap disimpan dalam memori jangka panjang. Penganut Kognitifistik memiliki persepsi yang luas terhadap belajar yang independent. Dengan demikian, maka siswa menggabungkan informasi dan ketrampilan dalam memori jangka panjang untuk mengembangkan strategi kognitif, atau ketrampilan yang berkaitan dengan tugas-tugas kompleks.

Jean Piaget mengilustrasikan bahwa psikologi kognitif  memperlihatkan proses mental individual digunakan untuk merespons lingkungannya. Piaget membagi konsep-konsep perkembangan mental menjadi tiga bagian yaitu; schemata (kerangka), assimilation (asimilasi), dan accomodation (akomodasi).

  • Schemata: struktur-struktur mental individu yang mengorganisir lingkungan. Skemata telah diadopsi atau telah berubah sejalan dengan perkembangan mental dan pembelajaran. Skemata digunakan untuk mengidentifikasi, berproses, dan menyimpan informasi yang masuk dan dapat dipahami sebagai kategori individu yang terbiasa digunakan untuk mengklasifikasi informasi yang spesifik dan pengalaman-pengalaman. Anak kecil belajar mencirikan antara ayah dan ibu. Mereka akhirnya memisahkan anjing dan kucing dan kemudian mengerti akan perbedaan anjiing yang berfariasi. Perbedaan ini berdasar pada pengalaman yang mengarahkan pada perkembangan skemata atau kemampuan untuk mengklasifikasi objek-objek dari karaakteristik-karakteristik yang signifikan bagi mereka.
  • Assimilation: asimilasi adalah proses kognitif yang mana pebelajar mengintegrasi informasi baru dan pengalaman-pengalaman kedalam skemata.
  • Accomodation: proses memodifikasi skemata yang ada.

Ketika berhadapan dengan suatu konsep baru atau pengalaman baru, pebelajar berusaha untuk berasimilasi kedalam skemata yang ada. Ketika menjadi tidak cocok, maka ada dua tanggapan yang memungkinkan, yakni; (1) pebelajar dapat menciptakan skema yang baru dimana stimulus di tempatkan, atau (2) skemata yang ada dapat di modifikasi sehingga stimulus yang baru akan cocok. Kedua proses ini merupakan bentuk dari akomodasi. Skemata meningkat sepanjang waktu dalam tanggapan akan pengalaman belajar.
Constructivist Perspective
Konstruktvisme merupakan gerakan yang berkembang jauh melebihi keyakinan para kognitivis. Konstruktivisme mempertimbangkan keterlibatan siswa dalam memaknai pengalaman sebagai inti dari pembelajaran. Konstruktivistik menekankan bahwa siswa menciptakan interpretasi mereka sendiri terhadap dunia informasi. Konstruktivisme mengatakan bahwa siswa meletakan pengalaman belajar mereka dengan pengalamannya sendiri dan tujuan pembelajaran bukanlah mengajarkan informasi tetapi menciptakan situasi-situasi sehingga siswa dapat menginterpretasi informasi dengan pemahamnnya sendiri. Peran pembelajaran tidak untuk mengeluarkan fakta-fakta tetapi untuk menyediakan siswa dengan cara-cara untuk mengumpulkan informasi.
Konstruktivisme percaya bahwa belajar yang efektif terjadi ketika pebelajar (siswa) terlibat dalam tugas-tugas autentik yang berhubungan dengan konteks-konteks yang bermakna. Kemudian ukuran terakhir dari pembelajaran berbasis pada kemampuan pebelajar (siswa) dalam menggunakan pengetahuan untuk memfasilitasi cara berpikir akan kehidupan sesungguhnya.
Social-Psychological Perspectiv
Psikologi sosial merupakan tradisi lain yang sudah dibentuk dalam studi belajar dan pembelajaran. Psikologi sosial melihat dampak dari organisasi sosial akan pembelajaran di dalam kelas. Apakah susunan kelompok belajar di dalam kelas-belajar mandiri, kelompok kecil,  atau satu kelas secara menyeluruh? Apakah susunan kekuasaan-seberapa jauh siswa dapat mengkontrol aktivitasnya sendiri? Dan apakah struktur penghargaan-adalah kerja sama dibandingkan membantu peningkatan kompetisi? Robert Slavin sudah mengambil posisi sebagai peneliti mengatakan bahwa cooperative learning lebih efektif dan lebih menguntungkan sosial dari pada pembelajaran kompetitif dan pembelajaran individualistik.
Approaches to Instruction
Pembelajaran merupakan penyusunan informasi dan lingkungan untuk memudahkan pembelajaran. Gagne menjelaskan pembelajaran sebagai, seperangkat peristiwa eksternal bagi siswa yang dirancang untuk mendukung proses pembelajaran internal. Sedangkan lingkungan, tidak dimaksudkan sekedar tempat terjadinya pengajaran tetapi juga teknologi, metode, dan media yang diperlukan untuk memperoleh informasi dan memandu siswa untuk belajar. Sementara penganut behavioris menekankan kontrol eksternal pada perilaku siswa, kognitif menekan kontrol internal, atau siswa, mengendalikan seluruh proses mental. Perbedaan ini mempengaruhi bagaimana media dirancang dan digunakan.
Behavioris menetapkan tujuan behavioral (prestasi), batasan pengajaran diperlukan untuk menguasai tujuan-tujuan tersebut. Saat pengajaran terprogram diperkenalkan, materi yang terkait langsung dengan tujuan akan disaring. Rancangan pengajaran berdasarkan psikologi kognitif sedikit tersusun dari pada psikologi behavior. Mereka mengijinkan pebelajar untuk menggunakan strategi kognitifnya sendiri, dan mereka memberikan dorongan untuk berinteraksi antara siswa. Mempelajari tugas-tugas diperlukan untuk  proses penyelesaian masalah, perilaku yang kreatif.
Tidak seperti behaviorist, kognitivistik tidak membatasi defenisi pembelajaran pebelajar untuk menampilkan behaviornya.mereka yakin pebelajar belajar banyak dari pada apa yang diekspresikan secara langsung. Kognitivistik, di lain hal, menyediakan lingkungan yang kaya akan pembelajaran dan memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk menciptakan pemahannya sendiri. Lingkungan belajar atauu pembelajaran yang kaya dapat disediakan denga berbagai macam media dan teknologi. Dengan kata lain setidaknya ini adalah struktur atau susunan pendekatan pembelajaran.
Instruktur dan para desain pembelajaran perlu untuk mengembangkan sikap berwawasan luas akan pembelajaran psikologi di sekolah-sekolah. Dengan demikian, kita tidak diharuskan untuk setia pada teori pembelajaran tertentu. Kalau memang teori behavioris yang perlukan, maka teknik-teknik dari teori behavioris yang akan kita gunakan. Dan sebaliknya, apabila situasi belajar membutuhkan metode kognitivistik atau konstruktivistik, maka metode-metode itulah yang akan digunakan.
Finding a Middle Ground
Dalam teks ini penulis pada buku ini menganjurkan pendekatan elektik untuk pembelajaran. Hal ini diilhami oleh tiap perspektif psikologi, dan para perancang telah mengembangkan kerangka yang kuat untuk pembelajaran. Bahkan, praktek-praktek pembelajaran yang berhasil memiliki ciri yang sebenarnya didukung oleh berbagai perspektif, seperti dibawah ini:

  • Active participation. Pembelajaran yang efektif terjadi ketika siswa secara aktif dalam memaknai tugas-tugas, dan berinteraksi dengan isi dari tugas-tugas tersebut.
  • Practice. Belajar baru memerlukan lebih dari satu paparan untuk mencapai akarnya; berlatih, khususnya dalam berbagai konteks, menunjukan rata-rata kemampuan memori dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan baru, ketrampilan baru, atau perilaku yang baru.
  • Individual differences. Ada berbagai macam bentuk kepribadian siswa, bakat yang umum, pengetahuan akan suatu objek, dan banyak faktor yang lain; metode yang efektif memungkinkan siswa untuk mengalami kemajuan pada tingkat kecepatan yang berbeda, materi yang berbeda, dan bahkan berpartisipasi dalam aktivitas yang berbeda.
  • Feedback. Pebelajar perlu mengetahui apakah pemikirannya berada jalur yang benar atau tidak; guru dapat memberikan umpan balik pada koreksi paper, pesan elektronik dari komputer, sistem penilain dari suati lomba,atau dengan cara yang lain.
  • Realistic contexts. Kita cenderung lebih suka mengingat dan menerapkan pengetahuan yang disampaikan dalam konteks dunia nyata; pembelajaran hafalan mengantar untuk ”inert knowledge”, dimana kita mengetahui sesuatu tetapi tidak pernah menerapkannya dalam kehidupan nyata.
  • Social interaction. Rekan pengajar yang bekerja sebagai guru privat atau anggota kelompok yang di panuti sebaiknya mampu menyediakan dorongan pendidikan yang baik sebagaimana yang diberikan masyarakat.

Kerangka pembelajaran yang akan diuji secara terperinci berusaha untuk menggabungkan sejumlah ciri pedagogis ini. Nilai dari kesemuanya itu adalah aktif berpartisipasi dan berinteraksi. Siswa juga didorong untuk menggunakn pengetahuan baru mereka, ketrampilan-ketrampilan, atau perilaku dengan menyediakan frekuensi dan praktek yang berfariasi.bagaimanapun, pebelajar berganti-ganti di dalam lefel yang mana menekankan ciri mereka yang lain.
Hal ini mengikuti pendekatan elektik yang esensial ketika memilih dan mendesain media. Kebanyakan pendidik mendukung teori kognitivistik yang menekankan pada materi-materi yang kaya akan stimilus, yakin bahwa siswa-siswa banyak belajar dari, dapat dikatakan dari video. Contohnya, siswa pada sekolah menengah atas boleh belajar metode yang ilmiah walaupun sasaran selama video dari eksperimen kimia di tampilkan tidak menuliskan topiknya.
Philosophical Perspective on Learning
Lebih dari beberapa observer telah berargumentasi bahwa penggunaan perangkat keras di dalam kelas telah tersebar luas dan hal ini menunjukan siswa diperlakuan seolah-olah adalah mesin dibanding manusia, ini karena dehumanisasi dalam pengajaran atau proses pembelajaran. Bagaimanapun, penggunaan perangkat keras dengan baik, teknologi pembelajaran modern dapat dindivualisasikan dan dengan begitu proses ini sampai batas tertentu tidak dapat dicapai karena mempertimbangkan kemanusiaan.
Jika guru merasa pebelajar sebagai mesin, mereka akan memperlakukan mereka seperti yang mereka rasakan, dengan atau tanpa kegunaan dari media teknologi dan pembalajaran. Jika guru merasa dengan benar siswanya sebagai manusia, dihormati, dan mereka memiliki motivasi, dengan atau tanpa bantuan media dan teknologi, mereka akan memandang siswa yang terlibat dalam pembelajaran. Yang menjadi hal penting dari teknologi adalah bagaimana teknologi itu ditampilkan di dalam kelas, tetapi lebih penting adalah bagaimana seorang guru menuntun siswa dalam menggunakan media dan teknologi di dalam kelas.
Teknologi pembelajaran tidak menghalangi suatu pengajaran atau lingkungan pembelajaran. Sebaliknya, media teknologi dan pembelajaran untuk pembelajaran dapat menyediakan suasana belajar siswa yang aktif dan berpatisipasi dalam pembelajaran. Ketika media teknologi dan pembelajaran digunakan dengan baik dan kreatif didalam kelas, itu adalah fungsi mesin yang sesekali dapat nyalakan atau diputar sesuka hati, bukan para siswa.
MEDIA
Secara plural media adalah saluran komunikasi. Makna media dalam bahasa latin adalah ”antara”, istilah ini mengacu pada apapun yang membawa informasi antara sumber dan penerima. Contohnya meliputi video, televisi, diagram, material cetak, komputer, dan instruktur. Ini semua dianggap media pembelajaran ketika membawa pesan dengan tujuan pembelajaran. Tujuan dari media adalah untuk memudahkan komunikasi.Sejalan dengan adanya sekolah dan kampus berbasis media dan jaringan koputer internet, dunia menjadi kelas tersendiri bagi pebelajar. Dengan demikian penyeragaman kurikulum sekolah-sekolah dianggap wajar.
The Conrete-Abstract Continuum
Media pembelajaran yang menggabungkan pengalaman kongkrit membantu siswa untuk menggabungkan pengalaman sebelumnya sehingga mempermudahnya untuk mempelajari konsep-konsep abstrak, misalnya, siwa yang telah melihat berbagai aspek pembangunan jalan layang atau jalan raya. Mereka melihat  pekerja bekarja, dan mereka melihat tahap-tahap pembangunan jalan. Aka tetapi, mereka perlu memiliki pengalaman-pengalaman ini yang akan digabungkan ke dalam dugaan yang disamaratakan tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan jalan. Menunjukan video yang menggambarkan seluruh proses yang terkait satu dengan lain ini merupakan cara ideal untuk menggabungkan berbagai pengalaman mereka kedalam suatu ringkasan yang bermakna.
Di dalam mengembangkan teori pembelajaran, Bruner mengusulkan bahwa pembelajaran harus langsung berasal dari pengalaman ke benda-benda yang disajikan berdasarkan pengalaman (penggunaan gambar-gambar dan video tape) ke simbol penyajian (seperti penggunaan kata-kata).
THE ROLES OF MEDIA IN LEARNING
Media memiliki berbagai peran dalam pembelajaran. Pembelajaran mungkin saja bergantung pada keberadaan seorang guru. Bahkan dalam situasi ini guru mungkin saja bergantung pada penggunaan media. Di sisi lain, pembelajaran mungkin tidak memerlukan seorang guru. Seperti siswa mengarahkan pembelajaran yang sering disebut ”belajar mandiri” walaupun dalam kenyataan dituntun oleh siapapun yang mendesain media.
  1. Instrutor-Directed Instruction
    Penggunaan media dan teknologi dalam situasi pengajaran adalah untuk memberikan dukungan tambahan bagi instruktur agar lebih hidup di dalam kelas. Tentunya media pembelajaran dirancang dengan sesuai agar dapat mempertinggi dan memajukan pembelajaran dan mendukung pembelajaran berbasis guru.
    Penelitian telah lama dilakukan dan menunjukan peran istruktur dalam menggunakan media pembelajaran yang efektif. Misalnya, penelitian menunjukan bahwa ketika guru memperkenalkan film, mengaitkannya dengan tujuan pembelajaran, maka sejumlah informasi yang diperoleh siswa dari film tersebut meningkat (Wittich & fowlkes, 1946). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, apapun bentuknya, hal tersebut yang diinginkan untuk pola pikir yang dapat menyerap pembelajaran.
  2. Instructor-Independent Instruction
    Media juga dapat digunakan secara efektif dalam situasi pendidikan formal dimana guru tidak berfungsi atau bekerja dengan siswa-siswa lain. Dalam aturan pendidikan informal, media seperti video kaset dan komputer untuk kursus dapat digunakan oleh orang yang magang pada tempat kerja atau di rumah.
Pembelajaran kooperatif terkait dengan pembelajaran mandiri. Pembelajaran kooperatif dengan hipermedia dapat diarahkan untuk memacu perubahan-perubahan diantara siswa sebagaiman mereka berjalan searah dan membicarakan respons mereka terhadap materi-materi pembelajaran.
Penggunaan materi-materi pembelajaran mandiri mengijinkan guru meluangkan waktunya untuk mendiagnosa dan mengoreksi masalah-masalah siswa, berkonsultasi dengan setiap siswa, dan mengajar siwa satu-satu dan mengajar siswa dalam kelompok kecil.
Tentunya ini tidak dapat dikatakan, bahwa teknologi pembelajaran dapat atau harusnya menggantikan guru, tetapi lebih dari itu media dapat menolong guru menjadi kreatif dengan pengalaman mengajar dalam menyampaikan informasi.
Media Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan pekerjaan siswa yang menggambarkan perkembangannya selama satu periode. Portofolio seringkali manyangkut ilustrasi buku yang dihasilkan siswa, video, dan audiovisual. Portofolio siswa dilakukan seperti hal di bawah ini:

  • Mengumpulkan, mengorganisir, dan berbagi informasi.
  • Meneliti hubungan-hubungan.
  • Menguji hipotesis.
  • Mengkomunikasikan hasil-hasil secara efektif.
  • Merekam berbagai macam tampilan.
  • Mencerminkan aktivitas dan belajar pebelajar.
  • Menekankan pada hasil, sasaran dan prioritas pebelajar.
  • Mendemonstrasikan kreativitas dan personaliti pebelajar.

Portofolio dapat berisikan ilustrasi buku seperti;

  • Penulisan dokumen seperti, puisi-puisi, kisah-kisah, atau makalah penelitian.
  • Media presentasi, seperti esai-esai foto.
  • Audio rekaman dari debat-debat, diskusi panel, atau presentasi lisan.
  • Rekaman video dari siswa pencinta atletik, musik, atau yang memiliki keahlian dalam menari.
  • Proyek multimedia komputer yang disertai percetakan, data, grafik, dan gambar-gambar yang bergerak.
Electronic Portofolio
Kegunaan dari stasiun kerja komputer dengan video dan audio kartu digital, printer, scanner, dan kamera digital mengijinkan siswa untuk menghasilkan portofolio digital atau elektronik. Elektronik portofolio adalah makna tentang mengorganisir, mendesain, dan menampilkan bentuk tradisional akan portofolio. Semuanya adalah cara untuk menilai belajar menggunakan teknologi. Secara fisik dan perkembangan sosial dapat juga diukur Campbell, 1996).
Thematic Instruction
Sekarang banyak guru yang mengatur pembelajaran seputar topik, ini dikenal sebagai pengajaran tematik. Guru sekolah dasar khususnya menggabungkan muatan dan ketrampilan dari banyak subjek. Pada tingkat sekolah menengah, tim guru dari area yang berbeda bekerja sama untuk menunjukan pembelajaran yang keluar dari isi pelajaran.
Unit-unit ini menyediakan lingkungan pembelajaran yang kaya. Tema yang menarik haruslah menarik perhatian siswa, menyediakan pemecah masalah yang berpengalaman, mendukung aktivitas interdisiplin, dan menyertakan variasi media, dan teknologi.
Mulailah dengan pengalaman yang dialami bersama dengan meminta siswa membaca buku yang sama, melihat sebuah videotape, ikut serta dalam sebuah simulasi, mengunjungi museum, atau mendengar pembicaraan tamu.
Kemudian melakukan keahlian bersama yang dapat digunakan siswa untuk bekerja sama mengumpulkan data dan informasi, menganalisa temuannya, menarik kesimpulan, mempersiapkan laporan kelompok, dan membagi hasil mereka dalam suatu media presentasi. Kemungkinan aktivitas terkait dengan penelitian pustaka, pencarian internet, dan aktivitas kelompok kecil.
METHODS
Secara tradisional, metode pembelajaran telah digambarkan sebagai ”bentuk-bentuk presentasi” seperti ceramah kuliah dan diskusi-diskusi. Dalam teks ini penulis akan membedakan prosedur pembelajaran yang dipilih untuk membantu siswa mencapai tujuan belajar atau untuk menginternalisasi pesan. Sementara itu media, telah ditetapkan sebelumnya, merupakan pembawa pesan atau informsai antara sumber dan penerima. Berikut ini ada 10 kategori metode, yaitu:
  1. Presentation: Dalam metode presentasi, sumber menjelaskan, dan mendramatisir informasi untuk pebelajar. Komunikasi satu arah di kontrol oleh sumber, tanpa dengan segera merespons atau berinteraksi dengan pebelajar.
  2. Demonstration: Metode pembelajaran ini, pebelajar menampilkan sebuah kehidupan nyata. Demonstrasi mungkin bisa direkam dan diputar kembali oleh media video. Jika interaksi dua arah atau pebelajar berlatih dengan menginginkan umpan balik, maka tinggal membutuhkan instruktur.
  3. Discussion: Sebagai suatu metode, diskusi-diskusi melibatkan pertukaran ide dan opini diantara siswa-siswa atau siswa dan guru. Hal ini dapat digunakan pada setiap tahap pembelajaran atau proses pembelajaran, dan di dalam kelompok kecil atau besar. Hal ini cara yang berguna untuk menilai pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, dan perilaku dari sekelompok siswa sebelum mengakhiri tujuan pembelajaran. Dalam konteks ini, diskusi dapat membantu instruktur membentuk jenis hubungan dengan atau tanpa kelompok yang membantu perkembangan pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.
  4. Drill-and-Practice: Dalam metode ini, pebelajar dituntun oleh serangkaian latihan tugas-tugas yang di desain ubtuk meningkatkan kelancaran dalam ketrampilan baru atau menyegarkan kembali sesuatu. Metode ini biasa digunakan untuk tugas-tugas pelajaran matematika, belajar bahasa asing, dan membangun kosakata. Media seperti audio kaset dapat digunakan dengan efektif untuk metode ini dalam pengejaan, aritmetika, dan belajar bahasa.
  5. Tutorial: Seorang pembimbing dalam bentuk akan orang, software komputer, atau material printer yang spesial menyajikan isi, bersikap suatu pertanyaan atau masalah, meminta respons pebelajar, menganalisis responsnya, menyuplai umpan balik yang pantas, dan menyediakan praktek sampai pebelajar ditentukan mendemonstrasikan tingkat kemampuannya. Pembimbingan seringkali dilakukan satu-satu dan sering digunakan untuk mengajar ketraampilan dasar, seperti membaca dan menghitung.
  6. Cooperative Learning: proses dimana siswa belajar dari setiap orang ketika mereka bekerja sebagai kelompok dalam pembelajaran (Slavin, 1989-1990).  Siswa dapat belajar kerjasama tidak saja dari mendiskusikan teks dan mengamati media tetapi juga menghasilkan media. Contohnya, desain dan produksi video di atur sebagai proyek kurikulum memberi kesempatan untuk pembelajaran kooperatif. Di sini guru harus bekerja sama dengan siswa dalam setiap situasi pembelajaran.
  7. Gaming: Berlomba sering di perlukan pebelajar untuk ketrampilan memecahkan masalah. Gaming menyajikan situasi yang menyenangkan yang mana pebelajar menetukan aturan-aturan sebagaimana mereka bekerja keras untuk mencapai sasaran tantangan. Satu bentuk kebiasaan dari belajar game adalah berkaitan untuk bagaimana belajar berbisnis.
  8. Simulation: Simulasi melibatkan pebelajar menghadapi suatu versi berskala kecil dalam situasi yang nyata. Simulasi mungkin melibatkan dialog partisipan, memanipulasi bahan dan perlengkapan , atau berinteraksi dengan sebuah komputer. Ketrampilan pribadi dan eksperimen-eksperimen  laboratorium dalam ilmu fisika sangat populer untuk disimulasi.
  9. Discovery: Metode ini menggunakan suatu induktif, atau pemeriksaan, pendekatan untuk pembelajaran. Tujuan metode ini adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman yang dalam akan isi yang terkait dengan penemuan itu sendir. Prosedur yang ditemukan pebelajar mungkin sebelumnya berasal dari pengalaman, didasarkan informasi dalam refensi buku, atau disimpan dalam database komputer. Metode ini juga dapat berasumsi dapat membantu para siswa untuk mencari informasi yang mereka ingin ketahui tentang topik spesifik yang menarik untuk mereka.
  10. Problem Solving: proses pemecahan masalah yang melibatkan siswa yang aktif. Siswa berangkat dengan pengetahuan yang terbatas, tetapi sejalan dengan panutan kolaboraitif dan konsultasi mereka berkembang, mejelaskan, dan mempertahankan suatu solusi atau posisi di masalah. Hal ini menggunakan kenyataan mendasar, bahan-bahan utama masalah yang diperkenalkan oleh media (contohnya, kasus-kasus yang di tulis, dasar-dasar komputer, sketsa dari videotape). Sebagai bagain dalam memecahkan masalah, siswa pergi ke pusat perpustakaan media dan mengakses database komputer sejalan juga dengan internet. Pebelajar mengambil banyak kesempatan untuk mereka pelajari sebagaimana mereka di tempatkan dalam ”sepatu” seseorang berperan menghadapi masalah dalam dunia nyata. Menyangkut hasil analisis, penyusunan masalah, pemecahan masalah, dan ketrampilan berpikir kritis. Dari pengetahuan ini ”dipelajari” dengan demikian siswa dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang autentik. Hasil-hasil yang lain menyangkut pembelajaran ketrampilan kolaboratif dan ketrampilan-ketrampilan kelompok merupakan hal yang sangat penting dalam dunia kerja sekarang ini.
TECHNOLOGY
Kata teknologi selalu memiliki konotasi yang beragam, berkisar dari sekedar perangkat keras untuk pemecahan masalah. Sebagai pemecah masalah dalam defenisi yang dikutip oleh John Kenneth Galbaraith: ”Penerapan sistematika pengetahuan ilmiah diatur untuk tugas-tugas praktis”.
Penggunaan teknologi sebagai proses disoroti dalam defenisi teknologi pembelajaran yang diberikan oleh perkumpulan profesional dalam bidang ini: ”teori dan praktek mendesain, pengembangan, penggunaan, manajemen, dan proses evaluasi, dan sumber pembelajaran” (Seels & Richey, 1994).
Saat ini, ketika sebagian besar orang mendengar kata teknologi, mereka akan berpikir mengenai produk teknologi seperti; komputer, CD Player, dan pesawat ruang angkasa. Ini merupakn satu jenis teknologi yang akan menjadi acuan bagai seorang teknolog pembelajaran untuk digunakan untuk tujuan pembelajaran.
Bila teknologi mengacu pada proses untuk meningkatkan pembelajaran, maka penulis akan menyebutnya sistem pembelajaran. Suatu sistem pembelajaran terdiri dari komponen yang terkait dan bekerjasama, secara efisien dan dapat diandalkan, dalam kerangka tertentu untuk memberikan aktivitas belajar yang diperlukan demi mencapai tujuan belajar.
Salah satu peran media dan teknologi yang paling penting adalah untuk memberikan katalis bagi perubahan dalam lingkungan pembelajaran. Penggunaan media yang efektif mengharuskan instruktur memiliki pengaturan yang lebih baik, memikirkan tujuannya, menggati rutinitas kelas setiap hari, dan mengevaluasi secara luas untuk menentukan dampak pembelajaran pada kemampuan mental, perasaan, nilai, ketrampilan interpersonal, dan ketrampilan motorik.
DAFTAR RUJUKAN

  • Heinich R, Molenda M, Russel James D, Smaldino Sharon E, 1982. Instructional Media and Technologies for Learning. Publishing by John Wiley & Sons Inc.
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Dalam makalah ini membicarakan seputar hal media, Teknologi, dan pembelajaran. Belajar merupakan sebuah aktifitas transformasi ilmu pengetahuan, sikap dan nilai dari satu generasi ke generasi lainnya. Membutuhkan satu saluran dan media yang harus tepat. Sehingga perlu pertimbangan yang mendalam dan tepat dalam menentukan teknologi yang akan digunakan sebagai sarana pembelajaran. Disamping itu, penggunaan media pembelajaran juga harus dipertimbangkan dalam penggunaanya dari berbagai sisi. Diantara berbagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan media pembelajaran antara lain adalah faktor efektifitas penggunaan media, kemudahan dalam penggunaannya, ketersediaan sumber energi penggerak media tersebut bila menggunakan listrik sebagai motor penggeraknya serta pertimbangan lain yang perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kultural masyarakat setempat.
Pada bahagian awal dari makalah ini mencoba mengkaji belajar dari sudut pandang perspektif psikologi. Dari pandangan psikologis, jelas aktivitas belajar tidak dapat melepaskan diri dari perspektif behaviorisme. Paham ini merupakan pandangan yang mempelopori dan menjadi peletak dasar lahirnya teori-teori pembelajaran kontemporer dan modern. Perspektif behaviorisme berpendapat bahwa belajar merupakan aktifitas yang dapat diukur dan dikendalikan mulai dari perencanaan sampai dengan hasil yang ingin dicapai. Semua komponen belajar merupakan variabel yang dapat dikontrol dan dikendalikan dengan sangat baik oleh guru. Meskipun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai kendala dan penyimpangan-penyimpangan serta tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Atas realitas yang ditemukan dalam perspektif behaviorisme dianggap memiliki sejumlah kelemahan, maka muncul perspektif yang ingin memperbaiki atau menyempurnakan perspektif terdahulu yaitu perspektif kognitif. Kekuatan utama pada paham ini memposisikan pikiran sebagai unsur utama yang menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan belajar yang diikuti oleh seorang individu. Alat yang kita kenal dengan istilah mental dan pikiran menjadi sarana utama bagi individu untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan alam dan sosialnya. Piaget menggolongkan proses mental individu dalam merespon lingkungannya dalam 3 konsep yaitu  schemata, assimilasi dan akomodasi.
Pada bahagian lain dari perspektif psikologi yang lebih ”liberal” dalam memandang aktifitas belajar adalah paham konstruktivisme. Paham ini berkeyakinan bahwa pengetahuan dibangun menuruk bahagian demi bahagian yang didapat melalui akativitas ”membangun” pemahaman. Belajar menurut teori ini sesuatu yang tidak dapat dipaksakan dan ditentukan hasilnya sejak dari awal. Pada persepektif ini lebih cenderung  memberi ”kebebasan” pada pebelajar untuk mengkonstruksi sendiri pengalaman yang diperolehnya selama mengikuti kegiatan belajar. Orientasi utama dari konstruktivisme dalam belajar adalah pada proses yang dilalui oleh pebelajar. Bila proses belajar yang diikuti berjalan baik dengan memberikan kaya pengalaman, maka pebelajar akan memperoleh banyak pengetahuan dari mengkonstruk proses yang diikutinya.
Perspektif yang berbeda dalam psikologi belajar di atas, melahirkan konsekuensi yang berbeda pula dalam pendekatan belajar yang harus diikuti oleh pebelajar. Behaviorisme menetapkan tujuan (prestasi) sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan dalam belajar dari pebelajar. Pada paham kognitif berpendapat bahwa penyediaan lingkungan yang kaya bagi pebelajar merupakan salah satu syarat mutlak yang harus ada. Agar pebelajar memiliki memiliki pemahaman sendiri dari penyediaan berbagai media dan teknologi. Sementara itu, persepektif  konstruktivisme lebih mendekatakan diri pada pendekatan proses.
Dalam praktek pembelajaran di kelas, guru maupun dosen memang tidak dituntut harus menjadi pengikut fanatik dari salah satu persfektif belajar di atas. Akan tetapi dapat memilih salah satu paham yang sesuai dengan konsdisi siswa dan lingkunganya. Dapat pula memadukan beberapa perspektif yang ada, dengan harapan dapat menjadi sebuah perspektif baru yang dapat memadukan berbagai keunggulan dari beberapa perspektif yang ada.
Pendekatan pembelajaran yang dipilih guru dengan tepat yang akan digunakan untuk pembelajarannya, memiliki konsekuensi terhadap media pembelajaran yang akan digunakannya. Berkat dukungan media pembelajaran, konsep abstrak yang sulit dipahami oleh pebelajar dapat dipermudah dengan bantuan media pembelajaran. Hal ini sejalan dengan kerucut pengalaman Edgar Dale.
Efektifitas penggunaan media pembelajaran bukan ditentukan oleh seberapa canggih dan modernnya alat yang disediakan oleh guru. Melainkan kesesuaian media tersebut dengan materi (contain)  pelajaran yang diajarkan. Mungkin saja guru mengajar tanpa bantuan media pembelajaran, karena materi yang disajikan adalah materi yang sederhana dan tidak terlalu berat. Sehingga cukup dengan memberi penjelasan secara verbal. Guru dalam menggunakan media pembelajaran harus memperhatikan secara cermat berbagai prinsip dan aturan yang harus dipatuhi dalam penggunaan media pembelajaran. Agar penggunaan media pembelajaran yang seyogyanya memberi kemudahan, justru menjadi penghalang keberhasilan pembelajaran. Akibat ketidaktahuan atau ketidakfahaman guru tentang kaidah dalam penggunaan media pembelajaran.
Disamping  rambu-rambu penggunaan media pembelajaran yang harus dipahami, sebagai seorang tenaga profesional, guru juga wajib dan harus mampu memahami berbagai metode pembelajaran. Penguasaan metode pembelajaran yang baik mulai dari keunggulan dan kelemahannya, juga dituntut untuk mampu melaksanakannya secara baik. Kesalahan dalam pemilihan metode pembelajaran, merupakan awal kegagalan guru dalam melaksanakan tugas pembelajarannya di kelas. Oleh karena itu, guru dituntut memiliki keterampilan dalam mengimplementasikan berbagai metode mengajar kepada pebelajar. Pengusaaan berbagai metode mengajar, dapat diplikasikan oleh guru setiap kali guru tersebut melaksanakan pembelajaran di kelas. Guru yang kaya akan metode mengajar, niscaya dapat menciptakan suasana kelas yang dinamis dan ceria di setiap pertemuannya. Sehingga pembelajaran yang asyik dan menyenangkan tidak Cuma sekedar dalam wacana di literatur-literatur strategi belajar mengajar, melainkan dapat tercipta dalam kelas-kelas di seluruh wilayah. Tidak lagi dijumpai wajah-wajah kusut siswa kehilangan gairah  sepulang dari sekolah, melainkan wajah ceria plus. Ceria karena sekolah memberi kesenangan, dan nilai plus karena siswa memperoleh pengalaman dan ilmu

Fenomena Tawuran antar Pelajar

Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita.

Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat.Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat . Akhirnya stress yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.
Dari aspek fisik,tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau rumah yang terkena lemparan batu.sedangkan aspek mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Setelah kita tahu akar permasalahannya , sekarang yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan masyarakat yaitu, orang tua , guru/sekolah dan pemerintah.
Pendidikan yang paling dasar dimulai dari rumah.Orang tua sendiri harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik juga barangkali perlu dirubah.Orang tua seharusnya tidak mendikte anak, tetapi memberi keteladanan.Tidak mengekang anak dalam beraktifitas yang positif. Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta suasana rumah yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang si anak Menanamkan dasar-dasar agama pada proses pendidikan. Tidak kalah penting adalah membatasi anak melihat kekerasan yang ditayangkan Televisi. Media ini memang paling jitu dalam proses pendidikan.Orang tua harus pandai-pandai memilih tontonan yang positif sehingga bisa menjadi tuntunan buat anak.Untuk membatasi tantonan untuk usia remaja memang lumayan sulit bagi orang tua.Karena internetpun dapat diakses secara bebas dan orang tua tidak bisa membendung perkembangan sebuah teknologi Filter yang baik buat anak adalah agama dengan agama si anak bisa membentengi dirinya sendiri dari pengaruh buruk apapun dan dari manapun.Dan pendidikan anak tidak seharusnya diserahkan seratus persen pada sekolah.
Peranan sekolah juga sangat penting dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih ketat, agar siswa/i tidak seenaknya keluyuran pada jam – jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran BK ( Bimbingan Konseling harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa, Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah yang ramah dan penuh kasih sayang . Peran guru disekolah semestinya tidak hanya mengajar tetapi menggatikan peran orang tua mereka. Yakni mendidik.Yang keempat penyediaan fasilitas untuk menyalurkan energi siswa. Contohnya menyediakan program ektra kurikuler bagi siswa.Pada usia remaja energi mereka tinggi, sehingga perlu disalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak berubah menjadi agresivitas yang merugikan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler Ini sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian juga.Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksii hukum Berilah efek jerah pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi.Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Perubahan sosial yang diakibatkan karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social masyarakatnya..
Dalam bukunya yang berjudul “Dinamika Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem sosial yang stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas ) senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (kontrol sosial).
  1. Sosialisasi maksudnya adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adapt istiadat ( norma ) suatu kelompok yang ada dalam sistem social , sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok yang bersangkutan.
  2. Pengawasan sosial adalah, “ proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. (Soekanto,1985:113).